Rumah sederhana di sudut kota Batu. Berpenghuni seorang perempuan dan empat orang laki-laki. Lelaki tertua sebagai kepala keluarga, sedangkan perempuan tertua sebagai anak kedua karena lelaki tertua itu telah bercerai dari istrinya belasan tahun yang lalu. Entah apa yang menyebabkan mereka memutuskan berpisah.
Hal pertama yang kufikirkan dari broken home adalah kondisi anak yang “kurang terurus”. Apalagi jika sang anak ikut dengan ayahnya. Ternyata kali ini fakta membukakan mataku bahwa perceraian bukan berarti terputusnya kasih sayang dan perhatian orang tua kepada anak.
Anak lelaki pertama telah bekerja membantu sang ayah menopang kebutuhan hidup keluarga mereka. Anak lelaki yang baik. Tidak neko-neko alias hidup dengan lurus tidak terkena pergaulan yang gak jelas.
Anak kedua yang solehah dan cantik. Purna sudah tugas sang ayah untuk mendidiknya karena sang putri telah bertemu dengan sang pangeran dan hidup dalam bahtera rumah tangga yang insya Allah sakinah.
Anak ketiga duduk di bangku kelas 2 SMU, dan si kecil duduk di bangku kelas 1 SMU. Sungguh anak yang manis dan sopan. Di usia ABG seperti mereka rasanya bukan hal aneh saat bertingkah sedikit “nakal” atau “memberontak” kepada orang tuanya. Nyatanya hal itu sama sekali tidak ada dalam keseharian mereka. Sang kakak tinggal di pondok sedangkan sang adik di rumah menemani sang ayah meskipun mereka belajar di sekolah yang sama. Sang ayah mengantar langsung dan mengurus semua urusan sekolah sang anak dan dengan sangat sopan menitipkan pendidikan kedua putra mereka kepada guru-guru mereka.
Pada suatu kesempatan aku bercakap-cakap kepada si bungsu.
Saat kutanya padanya, “kamu sering ketemu sama ibu?”
Dia menjawab, “jarang, Cuma sesekali aja selain Lebaran.”
“Ibu udah menikah?”
“Udah, udah punya anak sama suaminya yang sekarang”
“Ayah gak menikah lagi?”
“Nggak.”
“Kamu benci gak sama ibumu?”
“Enggak.”
“Marah?”
“Enggak.”
“Pas nikahnya kakak kemaren, ibu dateng gak?”
“Dateng, ikut bantuin juga dari awal ko.”
“Mmm... Ayah sama ibu terlihat bertengkar nggak?”
“Nggak sama sekali. Gak Cuma pas nikahnya kakak, dari dulu emang aku gak pernah lihat mereka bertengkar”
Hm, detik itu juga aku langsung berfikir kalau sang ayah begitu hebatnya mengkondisikan dirinya sendiri dan anak-anaknya. Pasti ada sesuatu yang sangat berat sehingga mereka memutuskan untuk bercerai, tetapi mereka tidak memberikan gambaran negetif kepada sang anak. Mungkin karena si bungsu belum dewasa sehingga sang ayah tidak menceritakan keadaan yang sebenarnya.
Gak bisa dibayangkan juga berinteraksi dengan mantan istri yang sudah memiliki keluarga sendiri mengurus semua keperluan pernikahan sang anak sedangkan dia sendiri tetap bertahan dengan kesendiriannya. Kalau saja dia mau dia bisa saja membuat anak-anaknya membenci ibu mereka. Tapi hal itu tidak dilakukannya. Betapa lelaki itu sangat pandai membahasakan kepada anak-anaknya bahwa kegagalan pernikahan bukan berarti menanamkan rasa benci kepada orang tua.
Semoga bermanfaat
Aaan Ade